Krisis yang Terjadi di Perkotaan yang Direncanakan Kawasan Lingkungan


Pendahuluan

Krisis yang Terjadi di Perkotaan yang Direncanakan Kawasan Lingkungan - Kota-kota yang ada di Indonesia pada umumnya merupakan daerah berkembang secara laissez-faire, tanpa dilandasi perencanaan kota yang menyeluruh dan terpadu. Kecuali pada kota-kota baru yang memang direncanakan di mulai sejak awal seperti daerah Tanjungpura atau Tembagapura, kota-kota kita sebetulnya tidak benar-benar di persiapkan atau direncanakan untuk bisa menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu yang relatif pendek maupun panjang.

Oleh karena itu, bukanlah suatu pemandangan yang aneh namun itu sudah biasa bila kota-kota besar di Indonesia menampilkan pembangunan yang serba mengesankan dalam wujud arsitektur modern dan pasca pra modern di sepanjang tepi jalan utama kota. Di balik semua keanggunan dan kemewahan itu, nampak menjamurnya lingkungan yang kumuh dengan saran dan prasarana yang sangat tidak memadai untuk mendukung keberlangsungan kehidupan manusia yang berbudaya dan bermartabat.

Sungai yang semula mengalir jernih dan mengemban fungsi sebagai salah satu sumber kehidupan penduduk, tidak ada lagi bisa melanjutkan fungsinya karena kadar pencemaran yang sudah melampui ambang batas. Taman dan ruang terbuka yang semula cukup banyak tersedia, beralih rupa menjadi bangungan – bangunan yang makin memperpadat lingkungan binaan. Dalam beberapa kasus yang pernah ada bahkan alun-alun yang merupakan paru-paru kota dan menjadi suatu lambang kebanggaan penduduk, terpaksa harus merelakan diri untuk di ubah fungsinya menjadi kawasan pertokoan atau perdagangan. Lingkungan pantai dan tambak yang selama berabad – abad telah dapat menjalankan tugas secara prima sebagai penjaga gawang ekologis, dengan serta merta merubah menjadi kawasan pemukiman penduduk, perdagangan, perhotelan, dan kegiatan komersial lainnya. Akibatnya sudah dapat ditebak sejak awal, banjir yang semakin parah pada kota-kota yang berada di tepi pantai atau pesisir.

Kota menjadi semakin padat, sumpek, dan semrawut atau tidak tertata. Jati diri kota pun cenderung luntur. Kekhasan setempat yang semula menyiratkan citra spesifik, kian lama kian pudar. Kecenderungan lunturnya idenitas perkotaan terjadi tidak hanya di Indonesia, melainkan sudah mewabah dalam skala dunia. Chicago, misalnya yang dilecehkan dengan sebutan Sickago. Kota Frankurt pun di juluki Krankfut, alias kota yang sakit atau aneh. Dan kota Indianapolis diberi nama ledekan dengan sebutan India-no-place, karena tidak adanya rasa tempat (sense of place). Aneka rona persoalan seperti tersebut di atas di rangkum dalam tulisan yang mengungkap tentang berbagai masalah perkotaan dan lingkungan. 

Dalam konferensi tentang Metropolitan Metamorphosis and Development di Nagoya bulan Oktober tahun 1988 yang silam, sempat melontarkan isu bahwa masalah pokok yang dihadapi kota-kota di negara-negara berkembang bukanlah semata-mata krisis dari perencanaan melainkan krisis yang di rencanakan. 

Perkara krisis dari perencanaan perkotaan sudah cukup jelas hal permasalahannya, antara lain karena masih langkanya suatu tenaga profesional dalam bidang perencanaan kota dan daerah sehingga produk yang di hasilkan di berbagai tempat, berkualitas hanya sekadar pas-pasan atau bahkan di bawah standar. Selain itu, juga akibat tumpang tindihnya berbagai jenis perencanaan pada daerah yang sama oleh instansi yang berbeda, sehingga membingungkan aparat pelaksananya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel